9 Postingan Terpopuler

Archive for Januari 2015

CINTAKU BERUJUNG KEMATIAN

By : Unknown
CINTAKU BERUJUNG KEMATIAN
Cerpen Elsa Monica


Ku langkahkan kaki ku, menuju ruang makan. Dengan rasa kantuk yang kurasa. 
“Ayu, pergegas langkah mu. Kamu sudah mau telat” kata Ibu.
 “iya bu” jawab ku sambil menahan kantuk. 
 
Aku percepat sarapanku karna tinggal 45 menit lagi gerbang sekolah akan di tutup. 
“mah, Ayu berangkat ya.” Kataku sambil memakai sepatu. 
“iya” jawab ibu singkat lalu masuk ke kamarnya. Sekitar 30 menit ku tempuh perjalanan dari rumah menuju sekolah. Ini memang hari pertamaku sekolah di SMA ini. Sebenarnya aku pindahan dari Bali, aku pindah ke Jakarta karna, perceraian kedua org tuaku.
“maaf, mau nanya ruang kepala sekolah itu dimana yah?” tanyaku pada sekelompok perempuan cantik yg sedang bergosip. 
“di sana! Eh, lo anak baru yg di bilang pak Bambang itu ya? Pindahan dari Bali. Yang katanya menjuarai olimpiade IPA tingkat nasional itu?” kata Sintya, yg ternyata leader kelompok yg mereka namai “The Girls” itu. 
“terimakasih, hehehehe” jawabku sambil senyum. 
“aku duluan ya mau ngadep Pak KepSek” jawabku pamit. 
“silahkan” jawab Sintya.
“Murid-murid ini murid baru yg bapak ceritakan kemarin, silahkan perkenalkan nama mu nak” kata Pak Bambang dengan halus. 
“Hai semua, nama saya Ni Kade Stevina Ayu, saya biasa dipanggil Vina sama teman-teman saya. 
Saya pindahan dari 177JHS RSBI, di Bali. Terima kasih” kataku memperkenalkan diri. 
“sama-sama Vina. nah, Vina. Semoga kamu senang yah sekolah di sini. Kamu duduk sama andre ya.” Kata Pak Bambang. “ah, gamau Pak! Saya gak mau duduk sama anak kampung kayak dia!” kata Andre. Seketika perasaan ku langsung down. Dan tentunya teman-teman sekelas menertawakan ku. “kalau kamu menolak,nilai kimia kamu bapak kurangi. Dan yg berani menertawakan juga!” ancam Pak bambang. Dan akupun tertawa di daalam hati. Hihihi, makanya jangan berani menertawakan anak spt aku.
Hari-hari ku lewati, hanya sekolah, tidur, belajar, makan. Itu saja kegiatan sehari-hari ku. Sehari-harinya aku hanya sendiri. Di sekolah mau pun di rumah. Andre teman sebangku ku saja menjauhi ku. Sampai pada suatu hari aku mendapat bbm dari teman ku di Bali, kalau ayahku sekarang pake bb, tak ku sia-siakan informasinya, langsung ku invite pin nya. Dan itu membuat ku kaget, ketika permintaan ku accept. Yg kulihat PM ayahku adalah “H-7 married. <3 Vannesia Aprililia <3” ayah ku memang jahat, pikirku.
 
Dia selalu memukuli aku dan ibu ku. Lalu dengan gampangnya dia membawakan surat cerai serta wanita penggoda itu kerumah ku, lalu ayah mengusir kami. Dengan mencoba meredam emosi ku, aku bm ayah. “yah, mau nikah? Ko undangannya ga nyampe ka aku dan ibu? Hehehe” kataku memulai pembicaraan yg basi ini. Namun apa yg ku dapat ayah membalas pesan ku “anda siapa? Anda dan ibu? Saya tidak kenal kalian siapa! Jangan ganggu hubungan saya dan Lia sekarang. Jika sampai pernikahan kami gagal anda akan saya bunuh” jawab Ayah membuatku sakit.
“jadi anda tidak mengenal saya? Anak yg anda buang sekitan 3 bulan yg lalu? Yg anda campakan bersama mantan Istri anda?” jawabku menahan emosi. “saya tidak pernah punya anak, saya tidak pernah punya istri. Saya baru akan menikah dengan org yg paling saya sayang, yaitu Lia” jawab ayah, yang langsung membuat ku menangis.
“ayah, aku anak ayah. Ayah jahat banget sama Ayu. Yah ini Ayu, anak Ayah” jawab ku sambil menangis. “saya tidak punya anak, apalagi yg namanya Ayu. Sudah! Jangan ganggu saya” jawab ayah, yg langsung mendelcont ku. Tidak pernah kurasa sesedih ini, bahkan saat Dimas meninggalkan ku.

Saat aku menangis Ibu datang menghampiriku, “Anak ibu kenapa nangis? Bilang Ibu siapa yg sakitin Ayu?” kata Ibu mencoba menghiburku. Ku ceritakan semua pada ibu, dan mulai saat itu kejadian-kejadian aneh pun mulai terjadi.
“hey Vina” sapa Andre yg membuat ku kaget. “ha? Iya. Tumben banget lo nyapa gue, hehe.” “emang gaboleh ya? Gpp hehehe, lo cantik juga yah” “ah bisa aja lo”

Saat aku mulai belajar,seketika bulu kuduk ku merinding. “Dre.” “iya” “lo,merinding ga?” “engga,kenapa?” “ko gue merinding ya” “yaiyalah,si Jono kan setan” “sial,serius gue” “udah lah bawa enjoy aja” “oke, thx ya”
Belakangan ini aku selalu merasa di ikuti. Aku bingung. Aku ketakutan. Tak ada yg bisa aku jadikan tempat curhat.

Istirahat tiba.
“Vina” sapa Andre mengagetkan ku. “ada apa?” “engga,mau nanya aja” “nanya apa?” “lo kenal Lia?” “hmmmm, gatau gue lupa” “ohh, gue kasih tau ya. Dia mau balas dendam ama lo,jadi take a care baby” “demi apa?!?!?! Eh tunggu lo manggil gu apa td?” “baby?” “aaaa.so sweeeetts” “hehehe, Vin. Sebenernya gue udah lama mau ngomong ini” “ngomong apa?” seketikapercakapan kami berubah menjadi serius. “mmmm...nanti aja ya, ga surprice nanti” “dih,wkwkwkwk.suka-suka lo dah Dre” “hehe..gue balik ke kelas duluan ya” “iya”

Malamnya, kejadian siang tadi selalu ada di pikiran ku, maksutnya Andre apa sih? Jangan-jangan...ah dia bikin gue nge fly aja. Tak lama aku memikirkan Andre seketika vas bunga di meja rias ku jatuh, dan langsung saja aku merinding, tak lama kemudian lampu kamar ku pun mati. “IBU!!!!!!” teriakku, tapi tak ada jawaban dari ibu.
“Ayu, kamu mau kemana?” lampu kamarku menyala, dan tiba-tiba muncul seorg wanita cantik dari sudut kamarku. 
“ka...kamu siapaa?” kata ku ketakutan. “aku,Lia wanita yg akan dinikahi ayahmu, sekaligus Ibunya Dimas.” Kata wanita itu, seketika aku ingat percakapan ku dengan ayah di bbm waktu itu. “mau kamu apa?” jawabku ketakutan. “mau ku? Kamu bertanggung jawab atas anak ku yg kamu campakan” jawabnya mebuatku takut “karna kamu anak ku menhantuiku, dia ingin kamu mati. Dan aku ingin membalaskan dendam anakku kepadamu” sambungnya. Lalu dia mendorongku ke sudut ruangan,yg membuat kepalaku berdarah.
“Ayu!! Ayu!! Kamu kenapa nak? Ayu buka pintunya!” kata ibu dari luar kamarku. “urusan kita belum selesai Ayu! Aku akan kembali dengan anakku, supaya dia bisa tenang disana hahahahahahaha” katanya sambil tertawa puas. “Ayu, kamu gapapa?” “Ayu gapapa bu” “kepalamu berdarah yu” “iya bu tadi Ayu kaget jadi nabrak tembok” “oh yasudah, kamu tidur ya, Yu” “Ibu Ayu takut tidur sendiri, Ayu tidur sama Ibu ya?” “iya Yu, Ayo”

Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan di sertai rasa takut. Setiba aku di sekolah, Andre langsung menghampiri ku. “Vina, kamu gapapa kan? Kamu diapain sama Lia? Apa yg dia lakukan padamu?” “dari mana kamu mengetahiunya? Aku tidak apa-apa, itu hanya insiden kecil” “insiden kecil katamu? Lia hampir membunuh mu! Untung ibumu cepat datang” “darimana kamu mengetahui semua ini?” tanyaku mulai takut. “jangan takut Vina, aku punya semacam kekuatan untuk mengetahui hal yg aku tidak tau” “semacam kekuatan gaib, Dre?” “iya, kamu benar. Skrg ceritakan semuanya padaku”. Lalu aku menceritakan semuanya ke Andre, dan dia berjanji akan melindungiku. Aku senang karna aku bertemu lelaki seperti Andre. Trimakasih Tuhan, kau memberikan dia kepada ku.

Keesokannya Andre main ke rumah ku, dia sangat baik. Terlebih pada ibuku, dan aku yakin Ibu pasti akan menyetujui hubungan kami. Andre selalu main kerumah ku saat weekend tiba. Aku dan ibu ku sangat senang dengan kehadirannya. Aku berteman dengannya sampai kami lulus SMA. Karna pada saat kami lulus, Andre melamar ku. “Besok adalah hari yg paling kamu tidak bisa lupakan Vina” kata Andre sambil tersenyum. “terimakasih, dre. Kamu buat hari-hari aku&ibu berwarna, kamu buat kita lupa sama kejahatan ayah Dre” jawabku.
Benar saja, 13 Maret 2009. Andre datang kerumahku beserta ibunya malam hari untuk melamarku, aku yg daritadi menunggu di kamar dengan hati yg berdebar akhirnya dipanggil ibu. “Ayu, ini nak Andre udah datang” “iya bu” jawab ku. Lalu aku keluar dengan hati bahagia.
Betapa terkejutnya aku saat melihat Andre datang dengan mawar Merah kesukaan ku ditangannya. “makasih dre, kamu emg paling ngerti aku” andre hanya membalas perkataan ku dengan senyuman. Tapi senyumannya itu membuatku bahagia, “mana Mama kamu dre” “sebentar lagi datang” “ooh,duduk dre kita nunggu sambil ngobrol” kataku. “ibu diajak ga?hehe” kata ibu “silahkan bu” kata andre dengan sopan.

Tak lama kemuadian mamanya andre datang, betapa terkejutnya aku saat melihat mamanya andre, yg ternyata adalah Lia. Org yg selama ini ingin membunuhku. “ada apa kamu kesini? Kurang puas kah percobaan mu membunuhku satu tahun yg lalu?” kata ku ketekutan. “kamu ngomong apa sih Vina, ini mama ku” kata Andre menenangkan. “kamu jangan ngawur Yu, dia ini Mamanya Andre” kata ibu membela wanita itu. “Ibu, dia itu wanita yg ingin membunuh ku bu! Dia wanita biadab yg merebut ayah dari kita bu!” kataku mulai kesal. “jaga omongan mu, Vina. Saya tidak setuju Anak saya berhubungan dengan anak yg tidak tau adat seperti mu!” kata mamanya Andre.
“sebenarnya kalian siapa?!?! Apa yg kalian mau dari saya dan ibu saya? Kenapa kalian menghantui kami?” kataku. “sadar,Vina. Ini aku Andre” kata andre. Setelah Andre menenangkan ku ti ba-tiba mamanya andre berkata “semua sudah terlambat Vina, waktu mu sudah habis. Aku datang bersama anak ku, yang menuntut balas atas perbuatanmu! Dan kini kamu harus merasakan apa yang anakku rasakan! Hahahahahahah” kata mamanya Andre.

Ibu & Andre terlihat takut, terlebih aku yg sangatg ketakutan. Dan tiba-tiba muncul sesosok pria yg datang dari balik pintu. Aku mengenalnya, tapi aku ragu. Ternyata dia Dimas, lelaki yang dulu sangat aku cintai. Kami dijuluki pasangan ter-langgeng karna 2 tahun kami jalani tanpa konflik sedikit pun. Tapi semua itu berakhir ketika wanita itu datang. Kinan, perempuan yang menghancurkan hubungan kami. Dia memfitnah Dimas, bahwa Dimas selingkuh dengannya. Aku tidak percaya dengan kata-katanya. Tapi bukti-buktinya kuat.

Dan itu alasan ku untuk mengahkiri hubungan kami. Aku tidak tau kalau itu semua hanya akal-akalan Kinan, Doni sahabat Dimas menceritakannya kepadaku saat aku mengadiri pemakaman Dimas. Aku tidak tau kalau karna aku Dimas mati, aku menyesal. Yang aku tau bahwa Dimas meninggal karna kelebihan obat tidur. “kamu menyakiti hatiku Ayu, tetapi aku masih mencintaimu sampai sekarang. Tiap malam kulalui di taman kita hanya untuk menunggumu, berharap kamu ya datang menemuiku. Tapi tidak Ayu. Hanya aku menunggu sendiri disana, dalam kesunyian malam.
“maafkan aku Dimas, aku melakukan semua ini demi Ibu ku, aku sangat menyayanginya. Aku tidak mau melihatnya menangis, makanya aku ikut ibu pindah ke Jakarta, kita sudah tidak bisa bersama, kita hidup di dunia yang berbeda. Tapi percayalah Dimas, rasa cintaku padamu ini akan selalu ku simpan sampai kita bertemu nanti” kataku sambil menangis. “kita akan selalu bersama Ayu, aku datang menjemputmu. Lewat adikku aku datang kesini, untuk menjemput kamu seorang. Agar kita bisa bersama Ayu, seperti dulu” kata Dimas yg membuatku terharu.
“tidak, jangan bang. Vina sekarang milikku. Abang tidak berhak membawanya pergi” Andre membelaku lalu mencoba melawan Dimas. “diam kamu Andre, kamu tidak berhak mengatur saya” kata Dimas sambil mengayunkan palu yang ada ditangan kirinya hingga mengenai kepala Andre. “Andre!!! Dimas kamu jahat!” “tidak,bukan aku yg jahat,tapi kamu. Sekarang kamu milik ku. Tak ada yg bisa menghalangiku” tak menunggu waktu setelah Dimas berkata spt itu, Dimas menusukkan pisau yang dia bawa di tangan kanannya tepat di jantungku, lalu aku tidak sadarkan diri. Yang terakhir aku dengar hanya suara Andre yg berkata “Jangan!!! Jangan bunuh Vina bang!!!”
Tag : ,

GADIS AKASIA

By : Unknown
GADIS AKASIA
Karya Kaz Felinus Li

Hong Kong, 1999
Jun Liang, adalah seorang remaja kelahiran Daratan Tiongkok yang baru berusia 15 tahun. Dalam usianya yang masih relatif muda itu, dia sudah harus ikut ayahnya, Guan Cheng, merantau ke Hong Kong. Guan Cheng dulunya adalah seorang buruh di negaranya sendiri, sebuah pekerjaan yang sudah ditekuninya bertahun-tahun sejak dia menikah dengan istrinya yang sudah meninggal 13 tahun silam. Dari pernikahan mereka, lahirlah satu-satunya anak mereka, Jun Liang. Kala itu Jun Liang masih berumur 2 tahun ketika istrinya meninggal.

Tekanan ekonomi yang berat di Tiongkok membuat Guan Cheng harus berencana untuk lebih baik lagi dalam menjalani masa depannya. Di tahun 1999, dia pun nekat merantau ke Hong Kong yang masih menjadi kolonial Inggris itu. Di sana, Guan Cheng menemui seorang teman masa kecilnya yang bersedia meminjamkan sejumlah uang kepadanya untuk dipergunakan sebagai modal berjualan buah-buahan segar di pinggir jalan. Mau tidak mau Jun Liang harus melanjutkan sekolahnya di sebuah SMA di kawasan Tsuen Wan.
Sebagai seorang yang berasal dari kampung dan dengan logat Mandarin yang sangat kental, sudah dapat ditebak kalau Jun Liang akan tampil berbeda dengan teman-teman sekolahnya yang baru. Namun perbedaan tersebut tidaklah membuat Jun Liang bangga, sebaliknya dia harus mulai menjalani hari demi hari yang penuh dengan gangguan dari teman-temannya.

Tiga hari berlalu. Suatu pagi, ketika bel tanda istirahat sudah berdentang, Jun Liang mengambil bekal nasi yang dibawanya dari rumah dan berjalan keluar kelas menuju kantin. Ketika melintasi lorong sekolah yang menghubungkan ke kantin, tahu-tahu dia tersentak dan ketika dia menyadarinya, dirinya sudah berada di atas udara dan selang beberapa detik di antaranya, dia mendarat dengan dada menghantam lantai, sedangkan kotak nasi yang dibawanya ikut melayang dan tumpah beserta isinya.

Kiranya seorang murid laki-laki, yang bersembunyi di belakang dinding, telah menjulurkan kakinya dan menyengkatnya ketika Jun Liang melewati lorong itu. Seketika suara tertawa pun terdengar bergema di lorong itu. Jun Liang berusaha bangun dari posisi jatuhnya dan sambil mengelus dadanya yang kesakitan, dia berdiri.
“Mau makan pagi ya, anak kampung…” ledek anak yang menyengkatnya itu. Saat itu, temannya yang lain, mengambil nasi yang berserakan di lantai itu dengan sapu dan memberikannya kepada Jun Liang, disambut oleh tertawa riuh dari teman-teman lainnya. Melihat hal itu, Jun Liang tentu saja menolak untuk mengambil nasi yang disodorkan itu.
“Wah, berani-beraninya si anak kampung ini menolak nasinya sendiri?” ejek si anak itu lagi.
“Maaf, teman, ” kata Jun Liang. “Lebih baik aku tidak makan daripada harus makan nasi ini.”
“Anak kampung ini banyak lagak juga rupanya…” celetuk salah satu dari mereka.
“Hey, anak kampung. Dengar ya.” kata anak yang menyengkat jatuh Jun Liang itu. “Kau anak baru disini. Jangan banyak lagak! Di sekolah ini tidak ada yang berani melawan kami! Apapun yang kami perintahkan, harus kau lakukan!”
“Maaf ya, teman,” sahut Jun Liang. “Aku tidak bisa.”

Anak-anak tersebut saling memberi tanda satu sama lain. Tiba-tiba, anak yang terdekat dengan Jun Liang menjulurkan lengannya dan mencekal kerah bajunya.
“Anak kampung saja banyak lagak!” katanya sambil mengayunkan lengannya memukul Jun Liang. Perkelahian tak seimbang pun terjadi. Jun Liang menjadi bulan-bulanan keroyokan kelompok anak bandel tersebut.

Air pancuran segar yang mengalir di taman sekolah menjadi cairan pembasuh yang sejuk di wajah Jun Liang yang sudah bengkak dihajar teman-teman barunya tu. Aliran darah kering masih tersisa di bibirnya saat itu. Pakaian seragamnya kotor dan berantakan.

Sambil mengeluh kesakitan, Jun Liang mencuci wajah dan tangannya. Lalu mengeringkannya dengan saputangan yang diambilnya dari kantong celananya.

Jun Liang bersiap untuk pergi ketika di depannya melintas seorang gadis yang masih satu sekolah dengannya. Gadis itu sedang bernyanyi riang ketika mereka berpapasan.
“Hai…” sapa gadis itu ketika melihat Jun Liang. Jun Liang hanya bisa tersenyum sebagai jawabannya dan dia meneruskan berjalan.
“Tunggu!” kata gadis itu tiba-tiba dan menghentikan langkahnya. Sesaat dia terpaku memperhatikan wajah Jun Liang yang babak belur itu.
“Kalau aku tidak salah ingat, kau anak baru dari Daratan itu bukan?” tanyanya.

Jun Liang mengangguk.
“Kenapa wajahmu bengkak begitu? Apa ada yang terjadi padamu?” sambung gadis itu lagi.
“Aku tidak apa-apa. Tadi hanya terjatuh saja.” Jawab Jun Liang dan dia kembali melangkah.
“Maaf,” kata gadis itu sambil memegang lengan Jun Liang.
“Ouhh… sakit…” jerit Jun Liang saat lengannya dipegang si gadis.
“Oh, maaf,” gadis itu melepaskan pegangannya. “Kamu sepertinya terluka ya?

Siapa yang melakukan ini semua? Apa itu perbuatan mereka?”

Jun Liang hanya menunduk, tak dapat berkata-kata. Lalu gadis itu memulai dulu untuk memperkenalkan dirinya.
“Aku Xiang Hua.” Ujarnya.
“Jun Liang…”
“Aku sudah tahu.” Kata Xiang Hua sambil tersenyum. “Kita ke klinik dulu ya. Biar lukamu bisa diobati.”

Mereka berjalan menyebrangi taman menuju klinik sekolah. Sepanjang jalan, Xiang Hua menjelaskan tentang keadaan di sekolahnya itu.
“Jangan pedulikan mereka,” katanya kepada Jun Liang yang berjalan di sebelahnya. “Mulai besok, kamu ikut aku saja ya kalau mau kemana-mana di sekolah ini. Aku akan memandumu dan siapa tahu kita bisa berteman atau mungkin juga bersahabat.”
“Terima kasih, Xiang Hua.” Kata Jun Liang. “Kau adalah temanku yang pertama disini. Aku ingin kita selamanya berteman.”

Jun Liang berhenti dan mengulurkan tangannya. “Terima kasih sudah mau menolongku.”

Xiang Hua menerima salaman tangan Jun Liang dan tersenyum. Sebuah senyuman indah untuk gadis sebaik Xiang Hua. Menurut Jun Liang, Xiang Hua itu gadis yang cantik. Semakin cantik bila senyumnya merekah. Dengan rambut hitam halus sebatas pundak, suara yang merdu dan badan yang proporsional.

Itulah awal perjumpaan Jun Liang dengan Xiang Hua. Setiap kali Jun Liang menghadapi masalah dengan anak-anak bandel di sekolahnya, Xiang Hua selalu membantunya. Dan Jun Liang juga cukup pintar untuk membantu Xiang Hua menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya selama ini.
***

Tak terasa dua bulan berlalu sudah sejak pertemuan Jun Liang dengan Xiang Hua. Kini Jun Liang sudah tidak lagi diganggu oleh anak-anak bandel di sekolahnya itu, karena pada suatu ketika dia dengan gagah berani berkelahi membela dirinya dan walaupun mereka semua dihukum oleh guru, namun sekarang mereka semua telah berteman baik. Jun Liang pun sudah berteman dengan semua yang bersekolah disana.

Suatu pagi saat istirahat, Jun Liang dan Xiang Hua berjalan menuju taman sekolahnya yang ramai dikunjungi oleh para siswa selama istirahat.
“Xiang Hua, ikut aku yuk…” kata Jun Liang sambil menarik lengan Xiang Hua.
“Kita mau kemana?” Tanya Xiang Hua.
“Ke suatu tempat…” jawab Jun Liang.

Ternyata Jun Liang mengajak Xiang Hua ke bawah sebuah pohon yang tumbuh di pojokan taman. Xiang Hua menatapnya dengan bingung.
“Ini kan hanya sebuah pohon, untuk apa kita kesini?”
“Xiang Hua, coba lihat.” kata Jun Liang sambil menunjuk ke bunga kuning yang tumbuh dari pohon tersebut. “Apakah kamu tahu nama bunga ini?” Xiang Hua menggeleng.
“Bunga ini namanya bunga Akasia.” Kata Jun Liang sambil memetik sebatang bunga tersebut. “Kelihatannya tidak bagus, tapi bunga Akasia ini menyimpan sebuah arti yang indah.”
“Arti yang indah?” Xiang Hua menatap Jun Liang dengan pandangan penuh tanda tanya.
“Iya, bunga Akasia menyimpan arti tersendiri.” Kata Jun Liang. “Kamu tahu apa arti bunga Akasia ini?” Lagi-lagi Xiang Hua menggeleng.
“Akasia mempunyai arti…” lanjut Jun Liang. “Kecantikan.”

Sambil berkata begitu, Jun Liang menghadiahkan bunga Akasia yang di tangannya itu kepada Xiang Hua. Disematkannya bunga itu di telinga Xiang Hua.
“Sangat cocok untuk disematkan kepada seorang gadis secantik dirimu.” Kata Jun Liang. Xiang Hua menunduk dan tersipu malu.
“Arti kedua dari bunga Akasia…” kata Jun Liang lagi, sambil memegang dagu Xiang Hua dan menengadahkan wajahnya yang tertunduk itu. “adalah cinta terpendam…”
“Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan padaku selama ini. Pertemuan pertama kita membuatku jadi tertarik padamu. Sejak saat itu aku memendam perasaanku padamu. Baru hari ini aku bisa mengungkapkannya. Dengan bunga Akasia ini, aku ingin mengikat hubungan kita dan aku ingin kita selalu mengingat bahwa bunga Akasia ini menjadi saksi ikatan hubungan kita.”

Xiang Hua tersenyum. “Terima kasih. Tapi aku punya satu permintaan.”
“Apa itu?” Tanya Jun Liang.
“Aku ingin kamu menjagaku seperti pohon ini menjaga bunga Akasia ini.”
“Pasti aku akan selalu menjagamu. Selama bunga Akasia masih berkembang, selama itu pula cinta ini akan terus berkembang padamu.” Kata Jun Liang sambil memegang jemari Xiang Hua.
“Tapi…” tiba-tiba Xiang Hua merengut.
“Tapi kenapa?” Jun Liang tampak bingung menghadapi rengutan di wajah Xiang Hua.
“Tapi kenapa dari sekian banyak bunga di taman sekolah ini, kamu justru memilih bunga Akasia ini?” Tanya Xiang Hua. “Bukannya masih ada mawar, anggrek dan juga bunga lily?”
“Kenapa ya?” Jun Liang menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. “Aku sendiri juga bingung, kenapa ya?”
“Aku menunggu lho….” Ujar Xiang Hua.
“Sebenarnya ini rahasia, alias belum waktunya kamu tahu jawabannya.”
“Tuh kan….” Xiang Hua tambah merengut. “Malas ahhh…”
“Nah, begini saja…” ujar Jun Liang menjentikkan jari. “Kamu mau tahu jawabannya kan?”

Xiang Hua mengangguk.
“Aku akan beritahu jawabannya sekarang…” tiba-tiba Jun Liang berhenti. “hanya jika kamu bisa mengejarku…”

Sambil berkata begitu, Jun Liang menggelitik pinggang Xiang Hua yang membuat gadis itu terhenyak kaget. Detik berikutnya, Jun Liang pun lari menghindar.
“Awas ya…” seru Xiang Hua tersenyum dan mulai berlari mengejar Jun Liang. “Siapkan jawabanmu karena aku pasti bisa mengejarmu!!”
“Coba saja kalau bisa…” jawab Jun Liang sambil berlari. “Aku sudah terbiasa berlari di kampung halamanku… Kamu takkan mungkin bisa mengejarku.”

Bersamaan dengan larinya dua insan itu, bel tanda masuk kelas pun berbunyi.
***

Hong Kong, medio 2002
Tak terasa, tiga tahun sudah hubungan mereka berjalan. Hari itu adalah hari kelulusan. Ketika acara kelulusan diselenggarakan, Guan Cheng menyempatkan diri datang ke sekolah memenuhi undangan. Begitu juga dengan orang tua Xiang Hua. Disanalah Jun Liang dan Xiang Hua mengenalkan orang tua masing-masing.

Dari sana masing-masing orang tua mengetahui bahwa Jun Liang dan Xiang Hua adalah sama-sama anak tunggal di keluarga masing-masing. Hanya perbedaan status ekonomi yang membedakan mereka. Tidak seperti keluarga Jun Liang, keluarga Xiang Hua adalah keluarga berada. Ayahnya seorang manajer sebuah perusahaan yang cukup elit di Hong Kong, sedang mamanya adalah seorang ibu rumah tangga yang bahagia dengan anak satu-satunya yang sudah berangkat remaja.

Karena Jun Liang adalah murid yang pintar, tak heran pada saat kelulusan, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke Australia. Hal mana yang menjadi sebuah dilema baginya.

Sebenarnya Jun Liang tidak ingin meninggalkan Xiang Hua sendirian di Hong Kong. Dia memilih untuk tidak melanjutkan kuliahnya, namun Xiang Hua bersikeras agar Jun Liang bisa melanjutkan studinya seperti yang didapatnya dari beasiswa tersebut.
“Aku tak ingin meninggalkanmu.” Kata Jun Liang pada Xiang Hua suatu sore ketika dia ke rumahnya. “Lebih baik aku tak kuliah di Sydney, tapi aku bisa bersamamu kuliah disini.”
“Jun Liang,” ujar Xiang Hua. “Aku ingin kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Orang lain yang berharap bisa mendapatkan beasiswa saja masih bermimpi untuk mendapatkannya, mengapa justru kamu yang sudah mendapatkannya malah menolak untuk pergi?”
“Aku tak bisa meninggalkanmu…” jawab Jun Liang. “Kenapa kamu tak ikut aku kuliah bersama disana?”
“Bukan aku tidak mau ikut bersamamu. Tapi kamu kan tahu aku tidak sepandai dirimu.”
“Tapi kan ada aku. Selama ini bukannya aku sudah menolongmu dalam pelajaran? Disana juga nantinya akan sama saja kan?”
“Tidak, Jun Liang. Aku tak ingin selamanya bergantung padamu.” Kata Xiang Hua. “Aku ingin kamu melakukan yang aku inginkan, pergi ke Australia dan lanjutkan kuliahmu disana. Aku bisa menunggumu disini. Tidak mungkin aku meninggalkan mamaku.”

Jun Liang masih terdiam. Hatinya masih galau dan ragu.
“Tapi…” Jun Liang ingin mengucapkan sesuatu ketika bibirnya ditahan oleh jari telunjuk Xiang Hua.
“Aku mohon, bila kau mencintaiku…” kata Xiang Hua. “Lanjutkanlah kuliahmu di Sydney. Dan bila kau percaya pada kekuatan cinta, ketika kau kembali, aku masih tetap milikmu…”

Jun Liang tak kuasa menahan gemuruh hatinya saat itu. Dipeluknya Xiang Hua dalam dekapan yang erat seakan tak ingin melepaskannya.
“Buktikanlah bila kau mencintaiku. Aku ingin kau berhasil disana dan jemputlah aku dengan cintamu.” Sambung Xiang Hua dalam pelukan tersebut. Kedua mata beningnya berkaca-kaca.
“Xiang Hua…” kata Jun Liang lirih dan semakin erat memeluk kekasihnya itu.

Singkat cerita, hubungan Jun Liang dan Xiang Hua pun berlanjut melalui media surat dan internet.

Desember 2002
Kesetiaan Xiang Hua sebagai seorang kekasih yang menunggu kedatangan pasangannya kembali dari kuliah mendapat cobaan dari Tuhan. Keluarga Xiang Hua mulai mengalami kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang direktur perusahaan tergoda oleh sekretarisnya sendiri. Bukan hanya selingkuh yang dilakukannya, namun dia juga meminta cerai kepada istrinya dan memilih memulai hidup baru dengan sekretarisnya tersebut.

Sebagai anak tunggal, Xiang Hua lebih memilih tinggal bersama ibunya dibanding ayahnya yang pergi meninggalkan mereka begitu saja. Ekonomi keluarga Xiang Hua drastis jatuh sepeninggal ayahnya. Ibunya pun jatuh sakit karena beban pikiran yang berkepanjangan. Xiang Hua sendiri berhenti kuliah karena tak ada lagi yang membiayainya. Beruntung, Xiang Hua rajin menabung dan dengan uang tabungannya, dia membuka sebuah toko bunga kecil-kecilan.

Dari penghasilan itu, dia berharap bisa membawa ibunya berobat ke rumah sakit. Namun semua itu tidak diceritakannya kepada Jun Liang yang kuliah di luar negeri itu. Dia tidak ingin konsentrasi kuliah Jun Liang berantakan bila mengetahui hal itu.

Oleh karenanya pada setiap surat yang ditulisnya kepada Jun Liang, Xiang Hua tidak pernah menceritakan sedikitpun tentang masalah keluarganya kepada Jun Liang. Xiang Hua hanya memberitahu Jun Liang bahwa dia masih tetap kuliah dan sudah membuka sebuah toko bunga kecil-kecilan untuk mengisi waktu luangnya sehari-hari.

Triwulan kedua 2003
Keadaan sepasang kekasih yang terpisah negara itu sepertinya bertolak belakang. Walaupun Xiang Hua berhasil mengangkat ekonomi keluarga, namun dia tidak bisa menghindari cobaan Tuhan yang lain kepada dirinya. Karena seringnya dia melakukan kontak melalui dunia maya internet dengan Jun Liang, Xiang Hua mulai merasakan kelainan pada kedua matanya. Penglihatannya makin lama semakin kabur dan membayang. Semakin hari semakin bertambah parah dan kronis.

Sedangkan belum genap setahun sejak Jun Liang kuliah di Sydney, Australia, dia telah diterima bekerja sebagai seorang wakil manajer di sebuah kantor dengan gaji yang cukup tinggi dan diberikan segala akomodasi lengkap. Jun Liang pun sanggup mengangsur sebuah apartemen mewah yang lengkap dengan segala fasilitasnya, sehingga Guan Cheng pun bisa menikmati masa-masa tuanya tinggal di sana.

Sementara itu, waktu terus berjalan…

Sydney, triwulan 2005
Dua bulan berlalu sudah sejak Jun Liang tidak lagi menerima kiriman email dari Xiang Hua. Dia pun sudah tidak pernah melihat Xiang Hua online di internet. Dia mulai gelisah dan mencoba menelepon Xiang Hua, namun tak pernah mendapat jawaban sedikitpun dari Xiang Hua.

Hari terus berlalu, kegelisahan semakin menghantui dirinya. Apa yang terjadi pada Xiang Hua sehingga membuatnya tidak menghubunginya sama sekali? Rumah tempat tinggal Xiang Hua juga serig menjadi tempat dihubungi Jun Liang melalui telepon, namun tetap tak ada jawaban yang memuaskan.

Dia pun memutuskan untuk segera kembali ke Hong Kong melihat keadaan Xiang Hua sekaligus mencari bukti apa yang terjadi sebenarnya…

Desember 2005
Setelah menitipkan apartemennya kepada seorang koleganya di Sydney, yang diminta tinggal seatap dengan Guan Cheng, ayahnya, Jun Liang pun bersiap untuk kembali ke Hong Kong mencari tahu keberadaan kekasihnya itu.

Ketika tiba di Hong Kong, hari sudah malam. Jun Liang pun menyewa sebuah hotel untuk menginap, dan dikarenakan badannya terlalu lelah menempuh perjalanan jauh, dia memutuskan untuk memulai pencariannya esok pagi.

Keesokan paginya, dengan menyewa sebuah taksi, Jun Liang pun meluncur ke alamat tempat tinggal Xiang Hua. Saat tiba di tempat itu, dia melihat rumah Xiang Hua tidak lagi seperti dulu yang pernah dijumpainya. Rumah tersebut telah dibangun berlantai dua dimana di lantai terbawahnya dijadikan toko bunga.
“Acacia Florist,” Jun Liang membaca papan nama yang tergantung di atas ruko tersebut. “Jadi Xiang Hua memakai bunga akasia sebagai nama toko bunganya ya… hmmm…”

Suasana di toko bunga itu cukup ramai didatangi pengunjung yang membeli. Jun Liang memilih untuk mempelajari situasi lebih jauh dengan tetap berada di dalam taksi yang ditumpanginya.

Satu demi satu orang diperhatikannya. Namun selama beberapa menit dia tidak melihat Xiang Hua yang dicarinya itu. Pada saat itu, seorang pria melangkah keluar toko dengan membawa seikat bunga. Di belakangnya, tampak seorang gadis berlari pelan mengejarnya.
“Tuan, Anda lupa kembaliannya.” Kata gadis itu sambil menyerahkan sejumlah uang kepada pria tersebut yang disambutnya dengan senyum. “Terima kasih,” katanya.
“Siapa gadis itu? Kemana Xiang Hua?” Tanya Jun Liang kepada dirinya sendiri ketika menyadari gadis yang dilihatnya itu bukanlah Xiang Hua. “Tak mungkin ini bukan tokonya. Aku masih ingat sekali alamat rumahnya dan terlebih tokonya bernama Akasia,”

Merasa tak sabar menunggu, Jun Liang pun turun dari taksi, membayarnya dan bergegas ke arah toko bunga tersebut. Sesaat dia tampak celingukan mencari-cari sesuatu, tepatnya seseorang.
“Ada yang bisa dibantu, Tuan?” terdengar sebuah suara.

Jun Liang menengok ke arah suara itu. Ternyata yang memanggilnya adalah gadis yang tadi dilihatnya.
“Hmm… Aku mencari bunga akasia, apa ada bunga seperti itu dijual disini?” Tanya Jun Liang.
“Maaf, Tuan. Kami tidak menjual bunga itu disini.” Jawab gadis itu.
“Aneh, berani memasang nama toko Akasia tapi tidak menjual bunga akasia.” Kata Jun Liang lagi.
“Bunga Akasia jarang sekali ada yang mencari. Bila Tuan benar-benar memerlukannya, Tuan bisa memesannya dan kembali besok. Kami akan menyediakannya untuk Tuan.”
“Aku membutuhkannya hari ini. Bisa tolong diusahakan?” Tanya Jun Liang mencoba memancing.
“Hmm… Bagaimana ya?” Si gadis tampak bingung dan salah tingkah.

Saat itu tiba-tiba terdengar sebuah suara dari dalam ruangan toko. “Sarah, ada apa di luar sana?”

Gadis yang bernama Sarah itu berniat menjawab ketika pemilik suara itu keluar dari dalam ruangan sambil mengetuk-ngetuk jalanan dengan tongkat yang dipegang di tangannya.

Terbelalak kedua mata Jun Liang waktu melihat dengan jelas siapa gadis bertongkat yang berjalan keluar ruangan itu. Jantungnya bagai berhenti berdetak. Dirinya bagai disambar petir di siang bolong saat mengenali gadis itu.
“Astaga!!” hanya itu kata yang sanggup keluar dari bibir Jun Liang saat melihat si gadis bertongkat yang bukan lain adalah Xiang Hua itu.

Selang beberapa detik kemudian, Jun Liang tak kuasa menahan lagi matanya yang mulai berkaca-kaca itu. Pandangannya kosong menatap kekasihnya yang selalu dirindukannya itu, kini telah buta.
“Tuan…” suara Sarah membuyarkan lamunan Jun Liang.
“Oh, maaf…” jawab Jun Liang. Karena tak ingin Sarah melihat apa yang sedang terjadi padanya, buru-buru Jun Liang menjawab.
“Bunganya tidak jadi hari ini, aku pesan untuk besok saja… Tolong dipersiapkan…” lanjut Jun Liang yang segera berbalik arah dan bergegas meninggalkan tempat itu.
“Tuan…” Sarah masih mencoba memanggil Jun Liang, namun yang dipanggil sudah berlalu dengan cepat.
“Siapa dia, Sarah?” Tanya Xiang Hua. “Kenapa tidak kau layani dia dengan baik?”
“Aku tidak tahu, Nona…” jawab Sarah. “Dia datang mencari bunga Akasia.”
“Bunga Akasia?” bergumam pelan Xiang Hua sambil mendoyongkan kepalanya. “Apakah itu dia?”
“Nona… nona kenapa?” kata-kata Sarah menyadarkan lamunan Xiang Hua.
“Oh, tidak… Mungkin aku salah, tidak mungkin tadi itu dia…” desis Xiang Hua lirih.
“Maksud Nona tadi itu Tuan Jun Liang, kekasih Nona yang sering Nona ceritakan itu?” Tanya Sarah.
“Aku tidak yakin itu dia, hanya sekilas kudengar dari suaranya.” Kata Xiang Hua. “Aku kenal suaranya.”
“Nona, besok dia akan kembali lagi kemari… Kita bersama-sama menemuinya ya?”

Xiang Hua mengangguk. “Ya… Aku ingin tahu apa dia itu benar orangnya…”

Di saat yang sama, Jun Liang yang telah berada di dalam sebuah taksi panggilannya, tak lagi dapat menahan derai air matanya menetes.
“Xiang Hua… jadi ini sebabnya kenapa selama ini kamu sudah tidak online dan membalas suratku lagi? Bahkan untuk meneleponpun kamu sudah tidak bisa?” kata Jun Liang pada dirinya sendiri.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu hingga kamu menjadi seperti itu?” Jun Liang menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu pasti menderita dengan kebutaan seperti itu. Aku tidak ingin kamu mengetahui kalau aku berada disini. Aku tahu kamu pasti sedih bila aku mengetahui kamu buta.”
“Xiang Hua… ijinkan aku menolongmu. Aku akan membalas kebaikan dan pertolonganmu semasa aku masuk sekolah disini. Tuhan, ijinkan aku menolongnya…”

Ketika keesokan harinya Jun Liang kembali ke toko bunga tersebut mengambil pesanannya, dia memberi tanda kepada Sarah agar Sarah bisa mengikutinya ke sebuah café kecil di seberang jalan. Disana, Jun Liang mengetahui kebenaran tentang semua yang terjadi pada keluarga Xiang Hua.
“Sejak kepergian ayahnya, Nona berjuang sendiri di toko bunga itu. Sampai akhirnya seorang temannya tak tega melihatnya dan menawarkan bantuan dengan memasukkanku kesana.” Sarah memulai ceritanya. “Ibunya sakit-sakitan dan penghasilan yang didapat Nona tidak begitu cukup untuk biaya berobat ibunya. Mata Nona sendiri semakin hari semakin kabur pandangannya dan akhirnya buta total. Tapi dia masih belum menyerah. Dia masih tetap berjualan walau harus dengan bantuan tongkat.”
“Jika aku minta tolong padamu, maukah kau membantuku?” Tanya Jun Liang.
“Sudah tentu, Tuan. Aku ingin melihat Nona kembali bahagia. Aku tidak tega melihatnya setiap malam memegang fotomu sambil menyebut-nyebut namamu.” Sarah mulai menitikkan air matanya ketika dia melanjutkan bercerita.
“Diam-diam aku sering mendengar dia berkata bahwa dia tidak ingin kau tahu kalau dia sudah tidak dapat melihat lagi. Dia berharap kau sukses disana dan tidak pernah kembali lagi. Dia berharap kau bisa melupakannya seperti ayahnya melupakan ibunya ketika sukses. Dia tidak ingin kau kembali dan melihat keadaannya seperti ini. Dia tidak ingin kau bersedih. Karena itu semua, dia pun berhenti dan tidak menghubungi dirimu lagi dan tidak pernah menjawab semua teleponmu.”
“Dia ingin kamu melupakannya. Cukup hanya dia saja yang ingat padamu. Dia akan selalu mengenangmu melalui bunga Akasia itu. Bunga yang pernah kau kenalkan padanya di taman sekolah. Bunga yang tak pernah ada di toko bunga Akasia, karena dia takkan pernah menjual bunga kenangannya itu kepada siapapun juga.”
“Dia pernah berkata, bila suatu saat ada seorang lelaki datang ke toko dan memaksa mencari bunga Akasia, itulah dirimu. Dia akan menunggu saat itu tiba. Hanya saja, dia berkata, bunga Akasia yang akan dicari lelaki itu sudah layu dan bukan Akasia yang segar lagi. Bunga Akasia yang sudah hidup di dunia yang serba gelap. Bunga Akasia yang sudah sepantasnya hilang dari dunia sang kumbang.”

Jun Liang menggigit bibir menahan pedih mendengar cerita Sarah itu. Matanya berkaca-kaca.
“Tuan, aku mohon. Tolonglah Nona Xiang Hua…” Sarah tak sanggup lagi melanjutkan ceritanya. Tangisnya meledak saat itu.

Jun Liang hanya bisa menunduk beberapa saat dan ketika dia mengangkat wajahnya kembali, kedua matanya berair dan merah.
“Sarah, aku mohon, jangan beritahu bila aku sudah kembali.” Kata Jun Liang setelah terdiam sekian lama. “Aku pasti akan menolong dia, belahan jiwaku itu. Tapi aku butuh bantuanmu.”
“Apapun akan kulakukan, Tuan, asalkan Nona Xiang Hua bisa bahagia kembali.”
“Bagus kalau begitu. Bantu aku menjalankan rencana ini ya…” kata Jun Liang yang kemudian menjelaskan semua rencananya menolong Xiang Hua kepada Sarah.

24 Desember 2005
Dengan alasan Sarah mendapat sumbangan dari semua teman-teman Xiang Hua untuk biaya pengobatan matanya, dan dengan perjuangan yang susah payah, akhirnya Sarah berhasil membujuk dan meyakinkan Xiang Hua untuk pergi ke Rumah Sakit - yang sebenarnya ditunjuk oleh Jun Liang - untuk melakukan operasi.

Di saat dimana hampir sebagian besar penduduk Hong Kong hanyut dalam perayaan di malam Natal, Xiang Hua harus menjalani operasi matanya. Sementara di ruangan berbeda, ibunya mendapatkan perawatan dari pihak kedokteran di Rumah Sakit yang sama.
“Tuan Jun Liang,” kata dokter yang melakukan operasi mata Xiang Hua. “Operasi mata Xiang Hua berjalan lancar dan dia sudah dapat melihat kembali seperti sedia kala. Namun, untuk 3 hari ini, matanya belum boleh mendapatkan cahaya dulu dan setelah 3 hari, balutan di matanya baru boleh dibuka.”
“Terima kasih, dokter.” Ujar Jun Liang tersenyum gembira. Di sampingnya, Sarah pun tersenyum lebar.
“Terima kasih, Tuan.” Kata Sarah. “Bila bukan berkat Tuan, mungkin…”
“Jangan lanjutkan lagi…” potong Jun Liang. “Berterima kasihlah kepada yang di atas.”

27 Desember 2005
Balutan di mata Xiang Hua dibuka oleh suster, dengan diperhatikan oleh dokter.
“Buka mata Anda pelan-pelan, Nona…” kata dokter member petunjuk.

Xiang Hua menuruti. Dibukanya kedua kelopak matanya perlahan-lahan. Sesaat dia mengatupkan kembali matanya. Karena tak tahan melihat terang setelah sekian lama hidup di dunia kegelapan.

Ketika membuka matanya kembali, pandangannya tampak samar.
“Dokter, kenapa penglihatanku masih samar begini?” Tanya Xiang Hua.
“Tentu saja. Anda masih perlu adaptasi sambil diberikan obat tetes mata.” Kata dokter menerangkan. “Bila cepat, dalam waktu 2 hari, mata Anda akan normal dan Anda bisa melihat kembali seperti dulu.”

29 Desember 2005
Sinar matahari pagi yang menerobos masuk dari jendela, membuat Xiang Hua terbangun. Ketika dia membuka matanya dan melihat ke langit-langit ruangan dimana dia terbaring, saat itu dia menyadari bahwa pandangannya sudah pulih seperti sedia kala.

Dengan hati senang dan senyum menghias di bibirnya, dia pun bangun dan duduk di tempat tidur. Sudut matanya menangkap sesuatu berwarna kuning yang tampak tergeletak di atas meja di samping tempat tidurnya. Xiang Hua meraih benda itu.
“Bunga Akasia…” desis Xiang Hua ketika menyadari benda itu. “Kenapa bisa berada disini?”
“Sarah…?” Xiang Hua mencoba memandang ke sekeliling ruangan, menduga Sarah ada disana dan meletakkan bunga tersebut di meja. Tapi disana tidak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri.

Xiang Hua menatap kembali bunga Akasia yang ada di genggamannya. Ketika saat itu dia menyadari, ada selembar kartu yang tertulis tangan. Dia mengambil kartu itu dan membacanya.
“Untuk Gadis Akasia. Apakah kau tahu apa arti ketiga dari bunga Akasia?”
“Cinta Suci.” Xiang Hua menjawab pertanyaan di kartu itu.
“Nona, aku datang!” tahu-tahu terdengar sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya membuyarkan lamunannya.

Begitu melihatnya, segera saja Xiang Hua bertanya. “Sarah, apa arti semua ini?”
“Maaf, Nona.” Kata Sarah sambil tersenyum. “Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Namun, aku ingin Nona menutup mata sampai aku meminta Nona membukanya kembali.”
“Untuk apa?” Tanya Xiang Hua bingung.
“Kumohon, sekali ini, lakukan untukku, Nona. Nanti Nona akan mengetahui jawabannya.”

Xiang Hua pun menuruti permintaan Sarah dan menutup matanya. Pada saat itulah, seorang lelaki masuk ke ruangan itu dan berdiri tepat di depan Xiang Hua.
“Sekarang, Nona boleh membuka mata…” kata Sarah.

Ketika membuka matanya, tampaklah sesosok tubuh yang sudah tidak asing lagi bagi Xiang Hua. Pemilik sosok tubuh itu tersenyum menatapnya.
“Jun Liang…….” Xiang Hua tampak histeris dan tak kuasa menahan untuk segera memeluk sosok tubuh di hadapannya yang ternyata memang Jun Liang itu.
“Apa kabar, Gadis Akasia-ku?” Jun Liang pun memeluk Xiang Hua dalam dekapan penuh cinta.

Sepasang kekasih itu pun melepas rindu satu sama lain dalam hiasan air mata kebahagiaan, walau ada senyum yang menghias di wajah keduanya. Melihat situasi itu, Sarah pun tak tahan ikut meneteskan air mata kebahagiaan.

TAMAT
Tag : ,

PERTANYAAN YANG TAK TERJAWAB

By : Unknown
PERTANYAAN YANG TAK TERJAWAB
Cerpen Karya Dysa Rachel

Malam yang bertabur bintang dihiasi lampu-lampu taman bulan tersenyum terang bahagia melihat mereka yang bersenang-senang malam ini. Aku bercermin melihat penampilanku untuk malam terakhir bersama teman dan guru-guruku, namaku Elyssna putri biasa disapa Elys, aku berumur 17 tahun dan saat ini aku bersekolah di Precious stone school kls XII, aku mempunyai rambut ikal berwarna pirang dan untuk malam ini rambut yang tergerai ini ku ikat dua dengan rapi, bola mata yang berwarna cokelat, dan memakai gaun putih dengan pita kecil yang manis di bahu sebelah kiri berwarna ungu. Ku pandangi kembali penampilanku “sempurna” pikirku. Tiba-tiba menetes air mata ini bila mengingat malam ini adalah malam terakhir ku sebagai murid di Precious stone school, tak rela rasanya bila aku harus meninggalkan kenangan di sekolah ku ini. Berpisah dengan teman-temanku yang selalu ada disaat aku merasakan suka maupun duka. Guru yang tiada pernah bosan-bosannya membimbing aku. Aku gak rela untuk kehilangan itu semua, tapi bagaimana juga aku harus rela ! aku harus melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, agar orangtua ku bangga melihat ku.
Teringat masa lalu yang tiada pernah bisa aku lupakan bersama sahabat-sahabatku yaitu Intan, Ocha, Diksi, dan Jean. Mereka yang selalu ada bersama ku dan takkan pernah bisa melupakan tingkah laku mereka, disaat jam istirahat di sekolah, disaat guru tidak masuk ke kelas. Mereka selalu saja membuat kelas menjadi kacau, dan sering kali kami di tegur oleh guru yang sedang mengajar di samping kelas kami.

Suatu pengalaman yang tak terlupakan dengan mereka, disaat kami pergi ke suatu tempat keramaian yaitu ke mall, aku merasakan hal-hal yang tidak pernah ada di sekolah yaitu bersenang-senang tanpa harus ada satu pun rumus yang harus masuk ke dalam otak ku. Saat menginjakkan kaki di tempat ini kami langsung berpikir untuk mencari restoran, karena kami semua sama sekali belum ada yang makan siang, akhirnya kami menuju ke sebuah restoran, kami mendapatkan sebuah meja dan kursi di sudut kanan pintu masuk restoran ini kosong, kami pun berjalanan menuju meja dan kursi kosong itu untuk di tempati. Masing-masing dari kami merogo kantong masing-masing untuk mengambil uang dan segera memesan makanan, mereka memberikan uang mereka kepadaku yang artinya aku yang memesan makanan untuk kami semua. 

Aku pun segera bangkit dari tempat dudukku sebelum cacing di perut kami mengaung, aku menuju tempat memesan makanan bersama temanku Ocha, kami memesan sebuah paket makanan agar harganya kebih terjangkau. Pegawai restoran ini pun langsung menyiapkan makanan pesanan kami, tidak lama hidangan itu pun sudah jadi, aku mengambil uang yang kami kumpulkan tadi untuk membayar makanan ini ke kasir. Aku dan Ocha kembali ke tempat duduk dimana teman-temanku sudah menunggu makanan yang berada di tangan kanan dan kiri ku ini. Sampai aku di tempat dimana seharusnya aku duduk.
“serbu” teriak Diksi dengan tangannya yang menyambar makanan pesanannya.
“hey... hati-hati jangan rebutan semua kebagian kok” ujar ku agar mereka tidak ribut.
Setelah kami semua kebagian makanan,
“ayo kita makan...!!!” seru Jean.
Dan kami semua pun makan, saat kami makan Diksi pun membuat tingkahnya, dia mencolek pipi Jean dengan saus tomat, sehingga membuat Jean ngambek.
“jangan gitu lah Diksi kan pedas” ucap Jean sambil menghapus saus di pipinya dengan tisu.
Kami semua yang melihat raut wajah Jean yang ngambek pun tertawa
“hahaha....ha....ha.... jangan marah Jean kan si Diksi cuma bercanda” ucapku agar Jean tidak ngambek lagi.

Kami pun selesai makan dan segera meninggalkan restoran ini, dan menuju tempat membeli tiket untuk nonton bioskop, sebelum membeli tiket kami melihat daftar film yang ditayangkan untuk hari ini, banyak film yang ditayangkan antara lain, Avenger, Rumah Seribu Ombak, Jendral Kancil, dan masih banyak lagi. Aku dan Ocha tidak berniat untuk menonton karena jadwal tayangnya film-film itu pada sore hari
“jika kami menonton kami akan pulang malam, karena durasi film-film itu berlangsung selama 3 jam. Sedangkan, sekarang sudah jam 5 sore” pikir ku sambil melihat jam di pergelangan tangan kiri ku.
Diantara kami semua yang sepakat untuk menonton adalah Intan, Jean, dan Diksi. Mereka bertiga pun membeli tiket untuk film Rumah Seribu Ombak sedangkan, aku dan Ocha menunggu di luar tempat membeli tiket sambil melihat ke sekeliling kami.

Tepat pada waktu nya film akan di mulai, aku dan Ocha berpisah rombongan dengan Intan, Diksi, dan jean. Mereka berjalan menuju ruang bioskop sedangkan, aku dan Ocha berjalan ke arah esculator menuju supermarket yang berada di lantai bawah untuk membeli oleh-oleh yang bisa dibawa pulang. Sebelum masuk ke supermarket, kami menitipkan tas ke tempat penitipan barang. Kami berdua masuk dan segera mencari apa yang ingin kami beli, aku mengambil sebuah tisu basah dan beberapa makanan ringan dan memasukkannya ke dalam keranjang yang kami ambil di depan pintu masuk supermarket, setelah keranjang kami terisi dengan barang-barang yang ingin kami beli, kami pun berjalan ke kasir untuk segera membayar barang-barang ini.

Kami keluar dari supermarket dan menuju ke penitipan barang untuk mengambil tas yang kami titipkan tadi, kami berdua bingung dan saling bertanya-tanya
“mau beli apa lagi ya ?” tanya ku berharap mendapatkan usul dari
Ocha.
“aku juga bingung, lebih baik kita pulang soalnya sudah jam 6” ujar
Ocha sambil melihat jam tangannya.
“yasudah yok” jawabku.
Kami berdua berjalan menuju pintu keluar gedung mall yang dingin karena AC nya. Udara yang dihirup setelah keluar dari gedung itu terasa berbeda dengan cuaca yang mendung, pertanda matahari akan tenggelam dan berganti jadwal dengan bulan yang di temani oleh bintang-bintang. Kami berdua menunggu angkutan umum yang melewati jalur rumah kami.
“ si Jean, Diksi dan Intan lagi ngapain ya kira-kira ?” tanya Ocha penasaran kepadaku.
”ya lagi nonton lah pastinya haha...ha...” jawabku sambil tertawa
“ihhh elys, aku kan nanya nya beneran, aku juga tau kalau mereka lagi nonton, tapi kira-kira jam berapa ya mereka pulang ? apa gak dicariin sama orangtua nya ?” tanya Ocha sambil melihat isi tas belanjaannya.
“paling-paling malam, entah tuch orang itu tadi dibilangin gak usah nonton, eh malah ngotot mau nonton” jawabku mencoba meyakinkan Ocha.

Tak lama angkutan umum yang kami tunggu pun datang, tangan ku melambai ke depan, memberikan isyarat kepada supir agar menepi dan kami menaiki angkutan umum itu. Tiba-tiba handphone ku berdering pertanda panggilan masuk, segera ku ambil di saku kanan celana depan, ku lihat bahwa nomor yang menelpon ku sama sekali tidak ku kenal. Karena nomor ini sama sekali tidak ku kenal, aku tidak berniat untuk menekan tombol jawab. Karena, rasa penasaran aku mengirim pesan singkat kepada nomor tersebut dengan text “siapa ini?” tidak lama aku mengirim pesan Ocha turun.
“Deluan ya, lys !” serunya
“ eh, iya hati-hati ya” jawabku dengan nada bicaraku yang sedikit terkejut.

Tak lama Ocha turun, handphone ku kembali berdering tanda pesan masuk. Aku segara membacanya ternyata pesan dari nomor yang baru saja ku kirimin pesan. Isi pesan nya “ini mama nya Jean, kamu tau tidak Jean nya dimana ? soalnya dia belum pulang” aku terkejut membaca pesan ini, itu berarti Jean tidak memberitahu mamanya kalau dia pergi pergi jalan-jalan bersama teman-temannya, tersadar aku ternyata sudah berada dekat dengan komplek rumahku. Aku turun dari angkutan umum dan berjalan menuju rumahku sambil membalas pesan dari mamanya Jean karena, aku takut jika mamanya khawatir “iya tante, tadi dia pergi dengan saya dan juga teman-teman tapi, di belum pulang karena, dia nonton bioskop dengan rombongan yang lain” ku kirim pesan ini dengan perasaan yang takut.

Aku gak tau mengapa perasaan ku se khawatir ini, dan tentu dengan perasaan yang bertanya-tanya dalam hati ‘kok mamanya ngirim pesan ke aku ya ? kok bukan ke yang lainnya ?’ pertanyaan itu selalu ada dalam benakku. Aku mendapat balasan pesan dari mama nya Jean “oh, iya sayang makasih ya informasi nya, nanti tante telpon kamu lagi” balasannya membuat aku merasa akrab dengannya, hal ini semakin membuat tanya di benakku “apa artinya ini ?” aku terlalu menganggap semua nya spesial, dan terlalu cepat bagiku untuk mengenal semuanya dengan akrab.

Malam semakin larut, angin bertiup dengan santainya melambai pohon-pohon dengan manja, rembulan semakin terang menemani hati yang penuh ke khawatiran karena, sudah jam 8 malam ini kabar bahwa Jean sudah pulang ke rumah sama sekali belum terdengar oleh telingaku, entah apa yang membuat aku menunggu kabar itu, padahal Jean itu cuma teman gak lebih. Apa ini yang namanya perhatian, perhatian yang terlalu berlebihan.

Jam 09.00 malam dengan rasa lelah aku menggerakkan badanku yang terbangun dari tidurku. Aku tersadar bahwa aku ketiduran, rasa tanya itu masih ada dalam pikiran ku. Kuambil handphone ku yang terjatuh dari tempat tidur dan ku lihat 2 panggilan tak terjawab dan 1 pesan masuk. Aku mulai gelisah pasti mama nya Jean dan tebakkan ku benar mamanya yang menghubungiku dan 1 pesan dari mamanya “Jean nya sudah sampai dirumah” perasaan yang lega dan tanya yang membuat gelisah itu hilang, aku kembali berbaring ke tempat tidur dan merasa hari ini menyenangkan dan tidak akan pernah aku lupakan.

Tersadar aku dari lamunan ku karena, aku mendengar ada yang memanggil ku. Aku melihat ke sekelilingku dan benar teman-temanku memanggil ku, ku hapus air mata yang mengalir di pipiku dan segera berjalan menuju suara itu. Ku temui teman-temanku dengan raut wajah mereka yang gembira menikmati malam yang indah ini, mataku tertuju kepada seseorang yang selalu ada dalam tanyaku ya benar Jean, dia adalah teman tapi bukan teman biasa, dia yang selalu membuat perasaan ini aneh, sepertinya aku menyukainya tapi aku tidak tau perasaannya kepadaku. Ku harap malam ini bukan malam terakhir ku bertemu dengannya, karena aku masih ingin tau jawaban pertanyaan hatiku.
APAKAH DIA MENYUKAIKU ?
Tag : ,

- Copyright © WHILLYPEDIA - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Whilly-Kun -